Wah, Pilpres kali ini tepat di
bulan ramadhan, sehingga harapan besar adalah semuanya akan jujur. Kan kalau
bohong, dosanya juga berlipat. Lagi puasa kan ga mungkin curang. Pikirku
sederhana dan lugu mungkin. Itu harapan yang sederhana. Tentang jujur.
Masing-masing kita jujur. Baik pemilih maupun petugas yang berwenang, di TPS
misalnya sampai di tingkat nasional.
Huh, ga nyangka. Kecewa. Sangat. Kenapa masih belum JUJUR.
Kenapa masih ada kecurangan dan manipulasi jumlah suara? Kenapa? Inikah
Indonesiaku? Bukankah “jujur” ini adalah budaya dan sikap yang harus
dilestarikan dan diterapkan. Kalau kayak gini terus, bagaimana bisa saling
percaya? Apakah memang sistem yang “merayu” sehingga bisa terjadi hal seperti
ini.
Terkait fenomena ini, mungkin Indonesiaku memang belum bisa
besar. Karena masih melupakan hal yang dasar, terkait kejujuran. Hm,aku tak
paham tentang apa yang terjadi. Tapi semakin tidak tertarik untuk mencari tahu
siapa yang salah, siapa yang bohong atau siapa yang tidak jujur? Apakah memang
“muraqabatullah” belum tertanam baik di hati kita semuanya. Adanya keyakinan
bahwa Allah mengawasi kita semuanya masih sebatas teori atau bahkan tidak
menyadari ada CCTV selalu mengintai.
Huh, apakah tidak boleh menghubungkan politik dengan agama
yang tertanam di hati para masyarakat. Apakah tindakan seperti menggembungkan
suara, memanipulasi data sampai menghilangkan bukti real count dihalalkan untuk
mencapai tujuan besar membangun negara Indonesia. Sayang sekali, padahal masih
banyak masalah makro yang harus diselesaikan.
Sayang, kalau urusan sepele ini membuat jadi semakin rumit dan ribet. Memunculkan
adanya analisis kecurangan dan tindakan yang tercela.
Harapan besar untuk Indonesia bisa jujur. Bisa jujur kepada
diri sendiri. Saat semuanya juga jujur, maka akan terbentuk kejujuran kolektif.
Yang akan membangun suasana yang damai, tidak saling mencurigai. Mungkin
terlalu sederhana pikirku, tapi bukankah lebih baik tidak mempersulit masalah.
Indonesia belum jujur, belum jujur pada dirinya sendiri.
Padahal ingin membuat Indonesia bangkit dan hebat katanya , tapi masih saja
ditemukan ketidakjujuran. Iya, bagiku ini bukan salah si capres, bukan salah si
tim sukses, tapi kesalahan kita semuanya. Apa coba manfaatnya kalau praktek
politik “tidak jujur” atau “saling suudzon” dan paling parah “fitnah” terus
diimplementasikan. Lucu, walau kayak gitu, tiap 5 tahunan, pasti akan ada
ratusan ribu calon legislatif yang “mau” berjuang. Kompleks ternyata. Parah.Aku
tak tahu apa “algoritma” yang tepat untuk menyelesaikan masalah yang “super”
tersebut.
Indonesiaku jujur, diawali dari kita sebagai individu jujur.
Mungkin memang awalnya semuanya jujur. Aku yakin itu. Tapi karena berprasangka
bahwa orang lain berlaku curang tetapi tetap aman, maka ada sisi lain yang juga
ikut melakukan hal yang sama. Owalah, mbulet, namanya itu tidak jujur.
Aku tak paham, ini tulisanku tentang apa. Tidak ada dasar
referensi yang aku baca, hanya berkomentar setelah melihat dan mendengar berita
di TV tentang kejadian selama penghitungan real count. Huhuhu, ya sudahlah,
semoga bisa ditangani dengan trik-trik spesial
dari undang-undang (hukum) yang sudah disahkan, pastinya pasal-pasalnya
adalah menyiapkan semua kemungkinan yang bisa terjadi.
Mungkin benar, saat ini Indonesia [belum] jujur. Mulai hari
ini jujurlah Indonesiaku ^_^.
Komentar