Saat buka-buka hardisk lama, menemukan folder tugas PRA DM2 lalu, yaitu membaca buku ini. Ya, buku yang keren, sebagai pilihan untuk mengisi diri memandang sebuah gerakan untuk membangun negara. ^_^
Sebuah Rekonstruksi Negara Madinah yang Dibangun dari Bahan Dasar
Sebuah Gerakan
Sebuah episode baru dalam sejarah telah dimulai, yaitu
sebuah gerakan telah berkembang menjadi sebuah negara, dan sebuah negara telah
bergerak menuju peradabannya; sebuah agama telah menemukan “orang-orangnya”,
setelah itu mereka akan menancapkan “bangunan peradaban” mereka. Hijrah,
dalam sejarah dakwah Rasulullah SAW adalah sebuah metamorfosis dari “gerakan”
menjadi negara. Tiga belas tahun sebelumnya, Rasulullah SAW melakukan penetrasi
sosial yang sangat sistematis, di mana Islam menjadi jalan hidup individu; di
mana Islam “memanusia” dan kemudian “memasyarakat”. Sekarang, melalui hijrah,
masyarakat itu bergerak linear menuju negara. Melalui hijrah, gerakan itu
“menegara”, dan Madinah adalah wilayahnya.
Pada
tahap ini Rasulullah menegakkan Negara Madinah. Sebagai sebuah
bangunan, negara membutuhkan dua bahan dasar: manusia dan sistem. Manusialah
yang akan mengisi suprastruktur. Sedangkan sistem adalah perangkat lunak,
sesuatu dengan apa negara bekerja. Islam adalah sistem itu. Manusia
adalah sesuatu yang dikelola dan dibelajarkan sedemikian rupa hingga sistem
terbangun dalam dirinya, sebelum kemudian mengoperasikan negara dalam sistem
tersebut. Untuk itulah Rasulullah SAW memilih manusia-manusia terbaik yang akan
mengoperasikan negara itu.
Selain kedua bahan dasar negara itu, juga perlu ada bahan
pendukung lainnya. Pertama, tanah. Tidak ada negara tanpa tanah. Tapi, dalam
Islam, hal tersebut merupakan infrastruktur pendukung yang bersifat sekunder
sebab tanah merupakan benda netral, yang akan mempunyai makna ketika benda
tersebut dihuni oleh manusia dengan cara hidup tertentu. Selain berfungsi
sebagai ruang hidup, tanah juga merupakan tempat Allah menitip sebagian
kekayaan-Nya yang menjadi sumber daya kehidupan manusia. Kedua,
jaringan sosial. Manusia sebagai individu hanya mempunyai efektifitas ketika ia
terhubung dengan individu lainnya secara fungsional dalam suatu arah yang
sama.Itulah perangkat utama yang diberikan untuk menegakkan Negara, yaitu sistem,
manusia, tanah, dan jaringan sosial. Apabila ke dalam unsur-unsur utama itu
kita masukkan unsur ilmu pengetahuan dan unsur kepemimpinan maka keempat unsur
utama tersebut akan bersinergi dan tumbuh secara lebih cepat. Proses
transformasi ini terjadi sangat cepat dan dalam skala yang sangat besar. Proses
ini sekaligus mengajari kita dua hakikat besar: pertama, tentang hakikat dan
tujuan dakwah serta strategi perubahan sosial. Kedua, tentang hakikat negara
dan fungsinya.
Dalam konsep politik Islam, syariat atau kemudian kita sebut
sistem atau hukum, adalah sesuatu yang sudah ada, given. Negara adalah
institusi yang diperlukan untuk menerapkan sistem tersebut. Inilah perbedaan
mendasar dengan negara sekuler, di mana sistem atau hukum mereka adalah hasil
dari produk kesepakatan bersama karena hal tersebut sebelumnya tidak ada. Sebagai
institusi, bentuk negara selalu berubah mengikuti perubahan-perubahan struktur
sosial dan budaya masyarakat manusia. Dari bentuk negara kerajaan, parlementer,
hingga presidensiil. Skala negara juga berubah mengikuti perubahan struktur
kekuatan antarnegara, dari imperium besar ke negara bangsa,dst.
Hukum-hukum Islam dalam bidang pidana dan perdata sebenarnya
merupakan sub-sistem. Tapi, dampak penerapan syariah tersebut pada penciptaan
keamanan dan kesejahteraan hanya dapat muncul di bawah sebuah pemerintahan yang
kuat. Hal itu bertumpu pada manusia. Hanya “orang kuat yang baik” yang bisa
memberikan keadilan dan menciptakan kesejahteraan, bukan orang yang baik.
Bagaimanapun, hanya orang kuat dan baik yang dapat menerapkan sistem Allah
secara sempurna. Inilah makna hadits Rasulullah SAW “laki-laki mukmin yang kuat
lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada laki-laki mukmin yang lemah.”
Apabila kita ingin meringkas tahapan
pertumbuhan Islam dalam sejarah maka kita dapat meringkasnya dalam tiga kata,
yaitu manusia, negara, dan peradaban. Manusia adalah subyeknya, negara adalah
institusinya, dan peradaban adalah karyanya. Paradigma berpikir seperti ini membuat
makna dari sebuah negara itu menjadi fleksibel, tidak terpaku pada satu bentuk
negara, khilafah, tetapi bentuk – bentuk yang lain dimana tetap dapat
menjalankan fungsi negara dengan baik. Selama fungsi negara sebagai alat
penerapan syariat islam, mereka dapat menerima bagaimanapun bentuk negara dan
pemerintahannya.
Negara Islam adalah negara risalah yang
hanya berhenti bertumbuh ketika risalah itu telah menjadi kenyataan hidup. Sasarannya
adalah selalu umat manusia yang mendiami bumi. Oleh karena itu, wilayahnya
selalu meluas mengikuti jejak kaki umat manusia. Karena pertumbuhan yang
dinamis itu maka bentuknya harus bersifat fleksibel agar dapat mengakomodasi
tuntutan pertumbuhan tersebut.
Negara kecil atau negara besar ? Negara
etnis atau negara super? Masalahnya ternyata bukan kepada bentuk, tetapi
terletak pada konsep kekuasaannya. Misi yang diemban apa? Misi ini bisa merujuk
pada ideologi atau kepentingan. Konsep kekuasaan bermula dari misi, yaitu
sebesar apa misi seseorang, sebesar itulah kekuasaan yang ia perlukan.
Sebuah misi besar haruslah diemban oleh
seorang manusia yang besar, begitulah sejarah mengajarkan kita sebuah kaidah
bahwa risalah yang agung haruslah diemban oleh seorang rasul yang agung, sebuah
beban amanat yang berat haruslah dipikul oleh seorang laki-laki yang kuat,
sebuah peradaban hanya dapat dibangun di atas altar sejarah oleh
manusia-manusia peradaban. Sebuah cita-cita luhur membutuhkan manusia-manusia
yang sama luhurnya dengan cita-cita itu, sebuah sistem yang baik hanya akan
memperlihatkan keindahannya jika diterapkan oleh manusia-manusia yang sama
baiknya dengan sistem itu. Ketika Islam diturunkan sebagai sistem kehidupan
yang paling komprehensif san integral, yaitu melahirkan kebenaran risalahnya
dan kekuatan pesona rasulnya.
Rasulullah saw mengetahui bahwa Islam
hanya bisa menjadi realitas kehidupan
dan menjadi abadi dalam sejarah apabila ia mepunyai
pendukung-pendnariukung yang kuat sepanjang masa. Pada setiap satu menara
kehidupan yang tinggi, ada manusia – manusia mercusuar yang menyinari alam raya
dengan hanya yang terang benderang. Islam pun terwariskan dari masa ke masa
bersamaan dengan terwariskannya kebesaran manusia – manusia itu. Obor kebenaran
dibawa oleh akal-akal raksasa para ulama, kepemimpinan yang andal para khulafa,
dan tangan –tangan perkasa para mujahidin.
Yang menjadi masalah umat muslim kini
adalah risalah yang agung ini tidak lagi diemban oleh manusia yang agung, akal
– akal raksasa itu tidak lagi hadir di tengah masyarakat, padahal kaum muslimin
sedang menghadapi tantangan era ilmu pengetahuan dan teknologi; para negarawan
besar itu tidak lagi hadir di tengah percaturan politik kita , padahal kaum
muslimin sedang merangkak dengan susah payah dalam pergolakan kemiskinan dan
keerbelakangan serta konflik; tangan –tangan perkasa para mujahidin tidak lagi
melindungi nyawa kita, padahal kaum muslimin hidup di era kedigdayaan militer.
Di penghujung abad 20 ini, Islam
menjadi satu-satunya pilihan bagi umat manusia. Sayyid Quthub meramalkan
situasi dan dengan penuh keyakinan bahwa “ Islam adalah amsa depan” atau “masa
depan di atngan islam”, ramalan itu kini menemukan faktanya.Samuel P.Huntington
merekontruksi peta pertarungan masa depan, meramalkan konflik besar di masa
depan adalah konflik antara Islam dan Barat. Nah, masalahnya sekarang masih ada
jarak yang terbentang antara peluang Islam menjadi ideologi dan kemampuan kaum
muslimin untuk merebut peluang tersebut.
Tugas peradaban kita saat ini adalah
mendekatkan jarak itu; jarak antara Islam dan manusia muslim, jarak antara
peluang dengan kemampuan untuk merebutnya. Manusia muslim inilah yang harus
kita rekontruksi ulang agar ia terbentuk sedemikian rupa dan menjelma menjadi
“terjemahan baru” bagi Islam yang tertulis dalam Al Qur’an dan As-Sunnah.
Bagaimanapun, Islam dapat dengan memenangkan pertarungan di tataran ideologi
dan pemikiran, meskipun pertarungan yang sesungguhnya justru terletak di antara
kenyataan dan di seluruh pojok bumi. Oleh karena itu, kebenaran Islam layaknya
seperti sebuah ppedang atjam yang telah terhunus, dan sedang menanti tangan
perkasa dari sang pahlawan.
Manusia muslim harus direkontruksi
ulang dalam tiga tahapan, yaitu ;
-
Pertama, kita harus memperbaiki afiliasinya kepada Islam
kembali sebab keislaman kaum muslimin saat ini lebih banyak dibentuk oleh
warisan lingkungan sosial, bukan dari pemahaman dan kesadaran yang mendalam
tentang Islam. Keislaman dengan basis seperti ini membuat kaum muslimin tidak
memiliki bobot sosial yang berat, tidak memiliki imunitas yang membuatnya mampu
bertahan dari semua semua bentuk invasi budaya. Oleh karena itu, sebuah
gincangan kecil sudah cukup memadai untuk mengubah warna kehidupan kaum
muslimin.
-
Kedua, setelah memperbaharui keislaman kaum muslimin
dengan memperbarui pemahamannya kepada Islam, setiap (individu) muslim harus
kita bawa ke dalam komunitas muslim yang besar, di mana ia menjadi bagian dari
masyarakat dan berpartisipasi dalam membangun masyarakat tersebut. Apabila pada
tahapan pertama, yaitu tahap afiliasi, kita menciptakan manusia muslim yang
shalih maka pada tahapan kedua ini manusia shalih itu kita leburkan ke dalam masyarakat,
agar ia mendistribusi keshalihannya kepada yang lain; agar keshalihan
individual itu berkembang menjadi keshalihan kolektif. Inilah hakikat dari
dakwah.
-
Ketiga, apabila pada tahapan kedua, yaitu tahapan
partisipasi, manusia muslim telah melebur dalam masyarakatnya dan
berpartisipasi dalam membangun masyarakat tersebut, pada tahapan ketiga kita
perlu menjamin bahwa setiap orang yang
berpartisipasi itu benar-benar dapat mencapai tingkat paling optimal
dalam memberikan kontribusi kepada Islam. Salah satu sumber kekayaan masyarakat
Islam adalah keunikan-keunikan individual dari setiap manusia muslim, yang
apabila potensi – potensi individual tertuang secara penuh dan membentuk sebuah
muara Islam yang sinergis, sebuah gelombang peradaban yang dahsyat akan segera
menggemuruh membela sejarah.
Peradaban selalu bermula dari gagasan.
Peradaban besar selalu lahir dari gagasan – gagasan besar. Gagasan – gagasan
besar itu selalu lahir dari akal-akal raksasa. Jumlah sahabat yang ditinggalkan
Rasulullah saw. Memang sedikit, tetapi mereka semua membawa semangat dan
kesadaran sebagai membangun peradaban dan membawa talenta sebagai arsitek
peradaban.
Dalam konteks kesadaran tentang ruang
dan pemilihan peran subyektif sebagai pembangun peradaban, kerangka kerja
intelektual manusia muslim terpola dalam fungsi – fungsi arsitektural di mana
mereka bekerja sebagai desainer, sebagai perancang, sebagai pembuat master
plan. Begitulah kemudian sebuah karya peradaban besar lahir ke bumi; satu
milenium lamanya manusia menikmati sejarah mereka yang terindah di bawah
naungan Islam.
Kemampuan akal-akal muslim bukan hanya
pada daya serapnya yang sangat besar terhadap semua jenis ilmu pengetahuan,
tetapi juga kemampuannya dalam mengkritisi ilmu-ilmu baru yang sampai ke
mereka, dan kemudian kemampuannya dalam merekontruksinya kembali, dan bahkan
kemampuannya dalam mencipta ilmu-ilmu baru dan metodologi baru. Dalam konteks
itulah kita melihat bagaimana konteks ijtihad dalam islam telah mewadahi proses
kreativitas akal-akal muslim, dan karenanya, kemudian menjadi mata air
peradaban islam yang tak pernah kering. Akal-akal muslim itu, dengan kata lain,
mampu memahami zamannya, dan sekaligus memberi sesuatu yang baru dan amat
kontributif kepada zamannya.
Tapi, di manakah akal-akal besar yang
pernah menggoncang perdaban dunia dengan temuan – temuannya itu ? Di manakah
akal-akal muslim yang dulu sanggup memahami zamannya dan kemudian memberi
sesuatu yang baru bagi zamannya?
Akal – akal muslim sekarang, bukan
hanya tampak tidak berdaya memahami zamannya, tapi bahkan tidak sanggup
memahami dirinya sendiri, tidak sanggup memahami sumber ajarannya sendiri,
tidak sanggup memahami warisan peradabannya sendiri. Akal – akal muslim
sekarang tampak mengalami kelumpuhan. Lumpuhnya akal-akal muslim telah
menyebabkan kita kehilangan mata air peradaban. Ketika generasi kemunduran
menutup pintu ijtihad maka mereka telah menutup mata air kehidupan.
Yang harus kita lakukan adalah
memperbaiki cara kita memahami sumber-sumber ajaran kita ; Al Quran dan
As-Sunnah, serta warisan intelektual dari peradaban kita. Dengan begitu, kita
dapat menemukan sistem dan metodologi pemikiran kita sendiri, untuk kemudian
secara kritis dan independen berinteraksi dengan realitas zaman kita, dengan
segala muatan peradabannya, dan selanjutnya menemukan jalan untuk
merealisasikan kehendak-kehendak Allah SWT dalam kehidupan kita.
Komentar