Ini satu paket tugas pra DM2, ya meng-upload tulisan lama, semoga ada manfaatnya. ^_^ Pendidikan Indonesia ke depan harus lebih baik. ^_^
Pendidikan
adalah hak setiap warga negara sebagaimana termaktub di dalam Pasal 28 UUD
1945. Jika warga negara mempunyai hak, dengan sendirinya bahwa pemerintah
sebagai pihak yang mesti menunaikan kewajibannya terhadap rakyatnya. Rakyat
berkewajiban menuntut hak-haknya.
Dalam UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berdasarkan definisi ini, dapat dipahami bahwa pendidikan nasional berfungsi sebagai proses untuk membentuk
kecakapan hidup dan karakter bagi warga negaranya dalam rangka mewujudkan
peradaban bangsa Indonesia yang bermartabat, meskipun nampak ideal namun arah
pendidikan yang sebenarnya adalah sekularisme yaitu pemisahan peranan agama
dalam pengaturan urusan-urusan kehidupan secara menyeluruh.
Laporan United Nations Development Program (UNDP) tahun
2004 dan 2005, menyatakan bahwa Indeks pembangunan manusia di Indonesia
ternyata tetap buruk. Tahun 2004 Indonesia menempati urutan ke-111 dari 175
negara. Tahun 2005 IPM Indonesia berada pada urutan ke 110 dari 177 negara.
Posisi tersebut tidak jauh berbeda dari tahun sebelumnya. Berdasarkan IPM 2004,
Indonesia menempati posisi di bawah negara-negara miskin seperti Kirgistan
(110), Equatorial Guinea (109) dan Algeria (108). Bahkan jika dibandingkan
dengan IPM negara-negara di ASEAN seperti Singapura (25), Brunei Darussalam
(33) Malaysia ( 58), Thailand (76), sedangkan Filipina (83). Indonesia hanya
satu tingkat di atas Vietnam (112) dan lebih baik dari Kamboja (130), Myanmar
(132) dan Laos (135) (www.suara pembaruan.com/16 juli 2004 dan Pan Mohamad
Faiz. 2006).
Pendidikan Profetik dapat diartikan profetik = prophetic
= kenabian, jelas sekali terkandung nilai filosofis yang dalam dengan
pendidikan kenabian ini. Jadi, aspek intelektualitas saja tidak cukup bagi para
pelaku pendidikan, tetapi juga harus didukung dengan sisi religius kenabian
yang sarat dengan akhlaq mulia dan budi pekerti yang luhur.
Secara
definitif, pendidikan profetik dapat dipahami sebagai seperangkat teori yang
tidak hanya mendeskripsikan dan mentransformasikan gejala sosial, dan tidak
pula hanya mengubah suatu hal demi perubahan, namun lebih dari itu, diharapkan
dapat mengarahkan perubahan atas dasar cita-cita etik dan profetik. Kuntowijoyo
sendiri memang mengakuinya, terutama dalam sejarahnya Islamisasi Ilmu itu
-dalam rumusan Kunto- seperti hendak memasukan sesuatu dari luar atau menolak
sama sekali ilmu yang ada2. Dia mengatakan: “saya kira
keduanya tidak realistik dan akan membuat jiwa kita terbelah antara idealitas
dan realitas, terutama bagi mereka yang belajar ilmu sosial barat. Bagaimana
nasib ilmu yang belum di Islamkan? Bagaimana nasib Islam tanpa Ilmu?.
Dengan ungkapan seperti ini, Kuntowijoyo tidak bermaksud menolak Islamisasi
ilmu, tapi selain membedakan antara ilmu sosal profetik dengan Islamisasi
Ilmu itu sendiri, juga bermaksud menghindarkan pandangan yang bersifat
dikotomis dalam melihat ilmu-ilmu Islam dan bukan Islam.
Secara
normatif-konseptual, paradigma profetik versi Kuntowijoyo (alm) didasarkan pada
Surar Ali-Imran ayat 110 yang artinya: “Engkau adalah ummat terbaik yang
diturunkan/dilahirkan di tengah-tengah manusia untuk menyuruh kepada yang
ma’ruf dan mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah”.
Nabi
Muhammad SAW adalah sebaik-baik pendidik, sebagaimana ia juga adalah
sebaik-baik manusia. Keteladanannya melingkupi semua sisi kehidupan manusia.
Akhlaknya yang agung, kesabarannya sempurna, kedalaman ilmunya sangat luas, kemampuan berkomunikasinya menjadi
kekaguman banyak orang. Kemampuannya membina dan membentuk satu komunitas yang
memiliki peradaban tinggi menjadi bahan diskusi dan referensi yang mengagumkan
sepanjang sejarah.
Nilai-nilai
yang ingin dibangun dalam pendidikan profetik itu yang pertama adalah
transformasi sosial dan perubahan. Hal ini tidak hanya menjelaskan dan mengubah
fenomena sosial tetapi juga memberikan interpretasi, mengarahkan, serta membawa
perubahan bagi pencapaian nilai-nilai yang dianut oleh kaum Muslim sesuai
petunjuk Al Quran, yakni emansipasi atau humanisasi, liberasi, dan transendensi.
Kedua,
menjadikan Al Quran sebagai paradigma. Kuntowijoyo dalam M Syafii Anwar, 1997
menyatakan bahwa paradigma adalah
realitas sosial dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of
inquiry tertentu, yang pada gilirannya akan menghasilkan mode of knowing
tertentu pula. Dengan mengikuti pengertian ini, paradigma Al Quran adalah
"konstruksi pengetahuan". Ini artinya, Al Quran mengonstruksi
pengetahuan yang memberikan dasar bagi kita untuk bertindak. Konstruksi ini
memungkinkan kita untuk mendesain sistem, termasuk di dalamnya sistem
pengetahuan.
Didalam
pendidikan profetik ada sisi memungkinkan bagi pemikiran tentang kenabian itu
bisa digunakan dalam melihat realitas. Jika kita perhatikan, sejarah Nabi-nabi
itu memiliki kadar kedalamaan ilmiah yang tinggi, yaitu bagaimana cara kerja
pikir dan sikap mereka dalam memahami realitas. Para Nabi melakukan “pembebasan
sosial” (liberating) di mana ketidakadilan dan penindasan begitu
menghantui kehidupan masyarakat.
Terdapat
tiga pilar utama dalam ilmu sosial profetik yaitu; amar ma’ruf (humanisasi)
mengandung pengertian memanusiakan manusia. nahi munkar (liberasi)
mengandung pengertian pembebasan. dan tu’minuna bilah (transendensi),
dimensi keimanan manusia. Selain itu dalam ayat tersebut juga terdapat empat
konsep; Pertama, konsep tentang ummat terbaik (The Chosen People),
ummat Islam sebagai ummat terbaik dengan syarat mengerjakan tiga hal
sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut. Ummat Islam tidak secara otomatis
menjadi The Chosen People, karena ummat Islam dalam konsep The Chosen
People ada sebuah tantangan untuk bekerja lebih keras dan ber-fastabiqul
khairat. Kedua, aktivisme atau praksisme gerakan sejarah. Bekerja
keras dan ber-fastabiqul khairat ditengah-tengah ummat manusia (ukhrijat
Linnas) berarti bahwa yang ideal bagi Islam adalah keterlibatan ummat dalam
percaturan sejarah. Pengasingan diri secara ekstrim dan kerahiban tidak
dibenarkan dalam Islam. Para intelektual yang hanya bekerja untuk ilmu atau
kecerdasan an sich tanpa menyapa dan bergelut dengan realitas sosial
juga tidak dibenarkan. Ketiga, pentingnya kesadaran. Nilai-nilai
profetik harus selalu menjadi landasan rasionalitas nilai bagi setiap praksisme
gerakan dan membangun kesadaran ummat, terutama ummat Islam. Keempat,
etika profetik, ayat tersebut mengandung etika yang berlaku umum atau untuk
siapa saja baik itu individu (mahasiswa, intelektual, aktivis dan sebagainya)
maupun organisasi (gerakan mahasiswa, universitas, ormas, dan orsospol), maupun
kolektifitas (jama’ah, ummat, kelompok/paguyuban). Point yang terakhir ini
merupakan konsekuensi logis dari tiga kesadaran yang telah dibangun sebelumnya3.
Sebagai bangsa yang beragama, kita sebenarnya memiliki akar yang sangat
kuat dalam hal moralitas dan etika. Bahkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 secara khusus menekankan pentingnya pendidikan bagi peningkatan
keimanan dan akhlak. Pasal 31 ayat (3) menyebutkan ”Pemerintah mengusahakan dan
menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan
ketakwaan serta akhlak mulia ...”.
Komentar