Menikmati Demokrasi (A. Matta)

Tulisan berikut ini adalah sedikit kutipan setelah membaca buku Menikmati Demokrasi beberapa bab saja, belum selesai. Hm, banyak banget yang bisa kita ambil pelajaran, semoga kita semakin paham akan bagaimana memposisikan demokrasi yang terjadi di negeri ini agar kita bisa menikmati demokrasi....^_^
Majelis iman kita butuhkan untuk dua keperluan, yaitu pertama, untuk memantau keseimbangan antara berbagai kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya dan kedua, untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah.
Membangun kehidupan yang Islami adalah sebuah proyek peradaban raksasa. Proyek besar bertujuan merekonstruksi pemikiran dan kepribadian manusia muslim agar berpikir, merasa, dan bertindak sesuai dengan kehendak Allah swt. atau dengan referensi Islam. Pekerjaan – pekerjaan dakwah untuk menyelesaikan proyek besar itu harus dilakukan dengan empat tahap. Tahap pertama adalah mihwar tanzimi yaitu membangun sebuah organisasi yang kuat dan solid sebagai kekuatan utama yang mengoperasikan dakwah. Tahap kedua adalah mihwar sya’bi yaitu membangun basis sosial yang luas dan merata sebagai kekuatan pendukung dakwah. Tahap ketiga adalah mihwar muassasi yaitu membangun berbagai institusi untuk mewadahi pekerjaan-pekerjaan dakwah di seluruh sektor lehidupan dan di seluruh segmen masyarakat. Tahap keempat adalah mihwar daulah yaitu dakwah yang sampai pada tingkat institusi negara. Sebab, institusi negara dibutuhkan dakwah untuk merealisasikan secara legal dan kuat seluruh kehendak Allah SWT atas kehidupan masyarakat.
Mungkin sebagaian besar para aktivis dakwah telah mengetahui tentang “Proyek Peradaban Kita”, tetapi ada lagi yang harus dipahami tentang empat tahapan dakwah untuk mencapai tujuan kita itu. Sebenarnya tidak ada jarak yang jelas antara satu tahap dengan tahap selanjutnya. Tahapan itu semua saling terkait dan kontinu. Jadi misalnya kita sudah masuk ke tahap ketiga, bukan berarti tahap satu dan dua ditinggalkan, tetapi proses di tahap satu dan dua tetap dilakukan dengan baik. Selain itu, keputusan untuk memasuki tahapan baru tidak saja ditentukan oleh pertimbangan kondisi internal dakwah, tetapi juga oleh peluang dan tantangan yang diciptakan dinamika lingkungan strategis eksternal. Keputusan untuk memasuki tahapan baru sepenuhnya adalah wewenang para pemimpin dakwah. Pengambilan keputusan itu didasari oleh akurasi data, kedalaman analisis, ketajaman firasat dan intuisi serta sifat kolektifitas syuro. Peralihan dari satu athap ke tahap lain harus disertai langkah antisipasi terhadap berbagai kemungkinan positif-negatif yang menyertai peralihan tahap tersebut. Pentahapan terhadap amal islami merupakan keniscayaan yang bersifat alfabetis. Sehingga peluang-peluang eksternal yang tersedia tetap tidak dapat dimanfaatkan apabila syarat-syarat internal untuk itu belum tercapai.
Sekarang amal Islami telah memasuki era keterbukaan (jahriyah) dan bekerja dengan cara-cara yang juga terbuka. Kondisi yang dibutuhkan untuk memasuki era keterbukaan, kata Syekh Muhammad Ahmad Al-Rasyid, adalah jumlah kader yang cukup, situasi sosial politik yang kondusif, penerimaan yang baik dari masyarakat, dan tersedianya kendaraan yang akan digunakan. Secara kuantitatif jumlah dan sebaran kader serta pendukung dakwah harus berada pada suatu angka yang relatif besar dan tidak mungkin dimatikan oleh musuh dakwah.Situasi sosial politik lingkungan eksternal harus kondusif untuk menyambut kehadiran dakwah dengan lebel yang jelas.Selain itu,harus ada tingkat penerimaan sosial yang luas atas kehadiran kita. Era ketebukaan ini memang mengharuskan kita mempunyai kendaraan yang mengantarkan kita muncul ke permukaan, yaitu berupa partai politik yang bernama Partai Keadilan Sejahtera*(sekarang).
Perbedaan mendasar anatra demokrasi sekuler dengan konsep politik islam terletak pada pandangan tentang siapa pemegang kedaulatan. Titik temu keduanya juga sangat mendasar, yaitu konsep pertisipasi. Titik temu inilah yang mendasari sikap kita terhadap demokrasi. Iman Syahid Hasan Al-Banna dalam Majmu’at Al-Rasali menyatakan bahwa demokrasi bukan sistem Islam, tetapi inilah sistem politik modern yang lebih dekat dengan Islam. Partisipasi politik di alam demokrasi, seperti yang sekarang kita lakukan, disamping mempunyai akar kebenaran dalam referensi Islam, juga punya makna strategis bagi proyek peradaban kita: bahwa ini adalah upaya meretas jalan bagi ummat secara aman dan bebas untuk membangun dirinya, bahkan memiliki dunianya sendiri.
Allah SWT sesungguhnya meletakkan ujian bagi kita, para duat : bagaimana mengedepankan kebenaran Islam dengan kesalihan manusianya dan menyamakan kebesaran Islam dengan kehebatan manusianya. Ini semua supaya politik tidak lagi menjadi “tugas yang sedih” dan tidak lagi “terkutuk” hanya karena ia harus “menerjemahkan nilai-nilai ke dalam dunia fakta-fakta”.
Yang kemudian harus kita lakukan adalah bagaimana mengintegrasikan kebenaran dengan legalitas. Bagaimana membuat sesuatu yang salah dalam pandangan agama menjadi tidak legal dalam pandangan hukum positif. Secara terbalik, itu pulalah yang dilakukan para pelaku kejahatan. Para mafia narkoba mencuci uangnya agar bisa menjadi hak milik yang legal.
Tugas memenangkan wacana publik tidak selalu dapat disederhanakan hanya dengan memiliki media. Memenangkan wacana publik adalah seni tentang bagaimana mempengaruhi dan menyusun kerangka pemikiran masyarakat. Atau, bagaimana membuat mereka berpikir dengan cara yang kita inginkan, bagaimana membuat mereka mempersepsikan sesuatu dengan lensa yang kita kenakan kepada mereka.
Dunia politik adalah tempat bersemayam kekuasaan yang secara pasti mempengaruhi kehidupan orang banyak. Kita ingin mengembalikan kekuasaan ke tempat yang sebenarnya. Tetapi, kekuasaan itu pedang bermata dua: mungkin kita bisa “membersihkannya”, mungkin juga menodai kita. Itulah sebabnya kita memerlukan imunitas: semacam daya tahan terhadap tekanan lingkungan yang tidak Islami, daya tangkal terhadap pengaruh negatif, atau daya seleksi terhadap pengaruh positif.
Kita harus membaca situasi sekarang ini dengan semangat bagaimana memanfaatkannya sebagai momentum untuk menciptakan kemajuan-kemajuan baru, lompatan-lompatan baru, bagi kepentingan strategis dan sejarah dakwah.
Bagi kita, para dai, khususnya para qiyadah amal Islami, membaca tanda-tanda zaman diperlukan untuk menentukan proses perpindahan fase dakwah ke fase berikutnya. Membaca tanda-tanda zaman juga diperlukan untuk menentukan laju pertumbuhan dakwah.Kita harus punya metodologi dan instrumen pembacaan yang komprehensif dan integral terhadap musuh-musuh dakwah. Itu merupakan dokumen strategis yang harus kita miliki untuk dapat menetapkan cara yang tepat untuk menghadapi mereka.
>>>To be continued........

Komentar