Hakikat Perjuangan

Setelah baca taujih ini, aku ingin berbagi dengan temen2 yang lain....Moga bermanfaat...
Ikhwati fillah….
Kehidupan adalah sebuah perjuangan, perjuangan yang tak boleh mengenal kata lelah dan bosan. Fardhiyatul hayat wa inti’asyuhaa (keniscayaan dan kesegaran hidup) harus ditandai dengan gerakan-gerakan dan langkah-langkah kebugaran dalam menyemai kebaikan-kebaikan. Dan ketika dalam kehidupan seorang manusia sudah tidak nampak lagi tanda-tanda adanya gerakan dan langkah-langkah kebaikan, maka manusia itu akan menjadi sakit-sakitan untuk selanjutnya menuju kematiannya. Oleh sebab itu, hidup identik dengan pergerakan dan pergerakan adalah kehidupan yang sebenarnya, sementara kematian adalah kemandegan dan kemandegan adalah kematian itu sendiri. Begitu juga dalam kehidupan dakwah dan tarbiyah. Dakwah dan tarbiyah baru akan hidup apabila diwarnai langkah-langkah dan gerakan-gerakan yang dinamis dalam memperjuangkan dan menjaga fikrah da’wiyah serta panji-panji tarbawiyah. Apabila kita masih ingin dianggap sebagai kader yang hidup dalam bingkai dakwah, maka kita harus terus berjuang bersama kader-kader lain dengan penuh keikhlasan dan pengorbanan. Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berperang karena keberanian, fanatisme kesukuan dan riya, yang mana dari mereka (yang berperang) di jalan Allah?
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang berperang karena meninggikan kalimat Allah, dialah yang berperang di jalan Allah.” (Muttafaqun Alaih)
Karena tanpa adanya keikhlasan dalam pergerakan, perjuangan dan langkah-langkah dakwah kita, maka semua yang kita lakukan akan sia-sia. Oleh karena itu dalam berjuang, disyaratkan adanya bekal-bekal ta’abudy. Paling tidak harus ada tiga kebugaran sebelum melangkah ke medan perjuangan; kebugaran ruhy, kebugaran ilmy dan kebugaran jasadi. Dan kebugaran-kebugaran yang kita miliki ini, kita gunakan sebagai modal untuk mendukung perjuangan yang telah digariskan oleh lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi dakwah tanpa adanya kecurigaan, penolakan dan malas-malasan. Hendaknya kita hanya mengatakan; “sami’naa wa ‘atha’naa” selama keputusan dan kebijakan yang digariskan tidak menyalahi aturan dan hukum Allah SWT.
Ikhwati fillah….
Perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran da’wiyah dan tarbawiyah sangatlah beragam dan berjenjang-jenjang. Imam Asy-Syahid berkata dalam salah satu rukun baiat; “Tingkat pertama adalah inkarul qalb (mengingkari kemaksiatan dan kezhaliman dengan menolak) dan yang paling tinggi adalah qital (perang fisik) di jalan Allah. Dan di antara keduanya ada jihad lisan, jihad qalam, jihad bilyad dan kalimatulhaq di hadapan penguasa yang zhalim….”
Termasuk ke dalam kategori perjuangan dan jihad –wahai saudaraku- adalah bekerja untuk menegakkan keadilan, memperbaiki tatanan masyarakat, menolong rakyat yang terzhalimi dan menolak pemerintahan yang berlaku lalim.
Rasulullah SAW bersabda, “Sebaik-baik jihad adalah kalimat adil (haq) di hadapan sultan atau amir yang lalim. (HR Al-Bukhari dan Abu Daud). “Tuan para syuhada adalah Hamzah bin Abdil Muthalib dan seorang laki-laki yang berdiri (berjalan) menuju pemimpin yang lalim, ia berseru, melarang dan kemudian terbunuh.” (HR Al-Haitsamy).
Ikhwati fillah….
Akhirnya, mari kita renungkan beberapa firman Allah berikut ini;
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu, "Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat?, padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudaratan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS 9: 38-39)
Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Q.S. 9:41)
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang, sementara mereka tidak mempunyai uzur) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, (yaitu) beberapa derajat daripada-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S 4:95-96)
Saudaraku fillah, apakah kita hanya akan berdiam diri, tidak berbuat sesuatu apapun sementara saudara-saudara kita semuanya menghambur ke medan jihad dengan suka cita karena pilihannya ihdal husnayain, satu di antara dua kebaikan; isy azizan aw mut syahidan.( hidup mulia atau mati syahid ). Kita tentunya tak ingin disifatkan seperti Bani Israel, kaumnya nabi Musa as yang berkata kepada nabinya, “idzhab anta warabbuka,pergilah Anda dan Tuhan Anda. Kami di sini saja duduk-duduk menunggu”.
Bahkan sebaliknya, kita bertekad mengikuti jejak para sahabat Rasulullah saw. yang senantiasa mengikuti perjuangan Rasulullah di dalam peperangan yang sesulit apapun. Kita mengenang dalam sirah, kisah sahabat-sahabat yang dijuluki Al Bakaain (orang-orang yang menangis ) karena tidak memiliki kuda dan perbekalan untuk mengikuti perang Tabuk, sementara hati mereka sangat ingin. Saat itu pasukan muslimin sampai dijuluki jaisyul usrah( pasukan sulit ). Sampai Rasulullah membesarkan hati mereka dengan mengatakan bahwa pahala mereka yang tertinggal tetap mengikuti kemanapun pasukan itu bergerak menaiki bukit dan menuruni lembah.
Begitu pula dengan Abu Thalhah yang bermunajat sampai menangis tatkala menghadapi dilema, apakah ikut perang bersama Rasulullah ataukah tinggal dan menunggui istrinya Ummu Sulaim yang sedang hamil tua dan akan melahirkan.” Ya Allah, tak ada satu perjuangan pun bersama Rasulullah yang tidak kuikuti. Aku selalu merindukan untuk berjuang di sisinya. Dan kini sementara panggilan jihad tengah berkumandang, aku bimbang karena istriku tengah hamil tua dan menunggu saat melahirkan.” Munajat lirih Abu Thalhah itu terdengar oleh sang istri yang shalihah. Ia juga memiliki militansi, ruhul jihad yang tak kalah dengan suaminya. Ia bisa memahami kebimbangan dan kegalauan hati suaminya, karena itu ia segera menyemangati suaminya, “Ya suamiku, janganlah engkau bimbang karena berat memikirkan diriku. Aku akan ikut berangkat ke medan perang menemani dirimu!”. Subhanallah.
Atau kisah heroik Hamzholah yang meninggalkan ranjang pengantinnya karena mendengar panggilan jihad. Jenazahnya yang syahid ternyata bersimbah air. Rasulullah tersenyum dan berkata, “Memandikan jenazah Hamzholah karena ia dalam keadaan junub ketika syahid”. Bayangkan sebagai pengantin baru ia rela meninggalkan istrinya sementara mereka dalam keadaan jima’.
Paling tidak, kita ingat kalimat-kalimat Hassan Al Banna yang lugas dan tegas kepada anggota-anggota Ikhwanul Muslimin, “Kini saatnya tuk berjuang dan bergerak, bila di antara kalian ada yang ragu, maka tempatnya di antara barisan mutaqooidin masih luas!” Digertak seperti itu bukannya surut atau mundur, melainkan semakin bersemangat untuk terus berjuang.
Ikhwati fillah, tidakkah kita tergerak untuk menghayati hakikat perjuangan ini dan mengikuti jejak langkah perjuangan mereka semua. Ayolah saudaraku fillah, marilah kita bergerak dan terus berjuang. Allah bersama kita. Allahu Akbar!

Komentar