Dari Gelap Menuju Cahaya

Tinta sejarah belum lagi kering menulis namanya, namun mengapa wanita – wanita negerinya sudah terbata – bata membaca cita – cita mulianya. R.A Kartini memang memperjuangkan hak wanita Indonesia, tetapi bukan untuk menyaingi kaum laki – laki seperti yang disuarakan para pejuang feminism dan emansipasi. Kartini merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita untuk lebih cakap menjalankan kewajibannya sebagai ibu. Wanita lebih diperlukan sebagai "sekolah" bagi anak-anaknya. Dan bukan sebagai kuda beban atau ayam-ayam pengais yang tertatih-tatih dan tersuruk-suruk menanggalkan pribadinya yang asli. Kartini tidak pernah mengimpikan wanita-wanita sesudah generasinya menjadi bebas tanpa kendali atau merebut hak lelaki hingga mengingkari fitrahnya.

R.A Kartini menulis: Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama. “ [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].

Tahukah kamu, bahwa tulisan beliau di atas beliau tulis setelah mendapat pencerahan Islam. Mari kita simak pengalaman beliau dalam mencari cahaya Islam yang sejati.

R.A Kartini memiliki pengalaman yang tdk menyenangkan semasa belajar mengaji. Ibu guru mengajinya memarahi dia dan menyuruhnya keluar karena Kartini menanyakan makna ayat Al Qur'an yang dibacanya tadi. Inilah suratnya kepada Stella tertanggal 6 November 1899 dan kepada Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902 :

" Mengenai agama Islam, Stella, aku harus menceritakan apa. Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku kalau aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya.Al Qur'an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apapun.Di sini tidak ada yang mengerti bahasa Arab. Orang-orang disini belajar membaca Al Qur'an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Sama saja halnya seperti engkau mengajar aku membaca buku berbahasa Inggris, aku harus menghafal kata demi kata, tetapi tidak satupun kata yg kau jelaskan kepadaku apa artinya. Tidak jadi soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati, bukankah begitu Stella..??
" Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak mengerti sedikitpun. Aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang aku tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al Qur'an, belajar menghafal perumpamaan- perumpamaan bahasa asing yang aku tidak mengerti apa artinya, dan jangan-jangan ustadz-ustadzahku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya nanti aku akan mempelajari apa saja.Aku berdosa. Kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti artinya.".
               Hidayah Allah memang ada di mana saja dan kapan saja, hanya karena kehendak-Nya lah yang membuat manusia dapat mendapatkannya apa tidak. Ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, Bupati Demak. Saat itu sedang berlangsung pengajian bulan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian bersama Raden Ayu yang lain dari balik Khitab (tabir). Kartini tertarik kepada materi yang sedang diberikan, tafsir Al Fatihah, oleh Kyai Saleh Darat, ulama besar yang sering memberikan pengajian di beberapa kabupaten di sepanjang pesisir utara. Setelah selesai pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia untuk menemaninya untuk menemui Kyai Saleh Darat.
" Kyai perkenankan saya menanyakan sesuatu, bagaimanakah hukumnya apabila seseorang yg berilmu namun menyembunyikan ilmunya..?

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”. Kyai Sholeh Darat bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

                                               (Dialog ini dicatat oleh Ny.Fadillah Bc.Hk Cucu Kyai Saleh Darat)

Setelah pertemuan itu nampaknya Kyai Sholeh Darat tergugah hatinya. Beliau kemudian mulai menuliskan terjemah Quran ke dalam bahasa Jawa. Pada pernikahan Kartini , Kyai Sholeh Darat menghadiahkan kepadanya terjemahan Al-Quran (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Mulailah Kartini mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya. Tapi sayang, tidak lama setelah itu Kyai Sholeh Darat meninggal dunia, sehingga Al-Quran tersebut belum selesai diterjemahkan seluruhnya ke dalam bahasa Jawa.

Dalam surat Al Baqarah Ayat 257, Kartini menemukaan kata-kata yang sangat menyentuh nuraninya, yaitu" Orang-orang yang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya (Minadzdzulumaati Ilaan Nuur)".Kartini amat terkesan dengan ayat ini, karena ia merasakan sendiri proses perubahan dirinya, dari pemikiran jahiliyah kepada pemikiran terbimbing oleh Nuur Ilahi. Dan sebelum wafatnya Kartini, dalam banyak suratnya mengulang kata-kata Dari Gelap Kepada Cahaya” ini. (Sayangnya, istilah “Dari Gelap Kepada Cahaya” yang dalam Bahasa Belanda adalah “Door Duisternis Tot Licht” menjadi kehilangan maknanya setelah diterjemahkan oleh Armijn Pane dengan istilah “Habis Gelap Terbitlah Terang”).

               Memang kumpulan surat-surat Kartini bukanlah kitab suci. Tapi kalau kita telaah kembali maka akan nampaklah apa cita-citanya yang luhur. Sayang itu semua sudah mengalami banyak deviasi sejak diluncurkan dahulu, setelah berlalu tiga generasi konsep Kartini tentang emansipasi semakin hari semakin hari jauh meninggalkan makna pencetusnya. Sekarang dgn mengatasnamakan Kartini para feminis justru berjalan dibawah bayang-bayang alam pemikiran Barat, suatu hal yang malah ditentang oleh Kartini.
Sumber : 
http://hasdiputra.blogspot.com/2007/04/kartini-ingin-menjadi-muslimah-sejati.html

http://prabu.telkom.us/2007/05/09/menelusuri-jejak-kartini/
 

“Allah pelindung orang – orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada Cahaya (Iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka;mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al Baqarah : 257)

Komentar